Aksi Massa Tuntut Penyelidikan Longsor KM 28, Indikasi Pelanggaran Tambang Mencuat

redaksi
27 Jun 2025
Share
Foto : Kelompok Pemuda Tani Jaya Bersatu.

Borneopost.co, Samarinda – Kelompok Pemuda Tani Jaya Bersatu kembali turun ke jalan pada Kamis (26/6/2025), menggelar demonstrasi di depan Kantor Gubernur Kalimantan Timur. Mereka menuntut kejelasan atas pembentukan tim independen untuk menyelidiki insiden longsor yang terjadi di KM 28, Desa Batuah, Kabupaten Kutai Kartanegara.

Menurut keterangan Ketua Aliansi, Andi Hafiz, hingga saat ini belum ada kepastian mengenai tindak lanjut dari Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang sebelumnya merekomendasikan pembentukan tim investigasi independen.

“Kami terpaksa melakukan aksi karena sampai sekarang belum juga dibentuk tim independen untuk mengusut penyebab longsor di KM 28, meskipun hal ini telah menjadi pembahasan dalam RDP,” ujar Andi Hafiz.

Unjuk rasa berlangsung serempak di dua titik, yaitu di Samarinda dan Jakarta. Di Jakarta, para demonstran mendatangi kantor Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Republik Indonesia untuk menyampaikan tuntutan mereka secara langsung.

“Yang kami minta jelas, segera bentuk tim independen yang profesional dan netral. Pemerintah tak bisa terus diam dan harus bertindak nyata menyelesaikan persoalan longsor ini,” ujar Hafiz dengan nada tegas.

Sementara itu, Ronni Hidayatullah selaku Ketua Tim Hukum Aliansi menekankan bahwa tim investigasi sebaiknya melibatkan berbagai elemen, termasuk perwakilan masyarakat agar hasilnya transparan dan dapat dipertanggungjawabkan.

“Pembentukan tim independen harus melibatkan pihak-pihak yang relevan, termasuk perwakilan dari komunitas Tani Jaya yang menjadi korban langsung dampak bencana,” ungkapnya.

Ronni menjelaskan bahwa hasil penelaahan internal aliansi menunjukkan indikasi kuat bahwa longsor di KM 28 berkaitan dengan aktivitas tambang milik PT Bara Multi Sukses Sarana (PT BSSR). Ia mendesak Kementerian ESDM untuk segera menghentikan sementara seluruh kegiatan operasional perusahaan tersebut, karena diduga pasca RDP terdapat indikasi upaya penghilangan bukti oleh pihak korporasi.

“Kementerian ESDM tidak bisa tinggal diam. Mereka harus turun langsung memantau kondisi di lapangan, termasuk dugaan tindakan PT. BSSR yang mencoba menghilangkan jejak atau barang bukti (disposal). Jika perlu, inspektorat harus mengambil langkah tegas dengan menghentikan seluruh operasi pertambangan perusahaan tersebut sampai ada solusi yang nyata,” tegas Ronni.

Ia juga menambahkan bahwa kegiatan tambang PT. BSSR telah menyalahi aturan hukum, terutama terkait jarak minimal antara area tambang dan permukiman penduduk.

“Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 4 Tahun 2012 dengan tegas mengatur bahwa jarak minimal antara lokasi pertambangan dan permukiman warga adalah 500 meter. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa aktivitas tambang di KM 28, Desa Batuah, hanya berjarak sekitar 100 meter dari rumah-rumah warga. Ini jelas merupakan pelanggaran regulasi,” ujarnya.

Menutup wawancara, Ronni menegaskan bahwa pihaknya akan terus memantau dan menindaklanjuti kasus ini hingga benar-benar selesai.

“Kami tidak akan tinggal diam. Masalah ini akan terus kami perjuangkan sampai ada langkah nyata dari pemerintah maupun pihak perusahaan,” tandasnya.