Kasus Dugaan Pencemaran di Muara Badak Masih Berproses, Nelayan Harap Kepastian Hukum

redaksi
9 Okt 2025
Share

Borneopost.co, BALIKPAPAN — Sudah sepuluh bulan sejak laporan dugaan pencemaran lingkungan di wilayah Muara Badak disampaikan, proses hukum terkait kasus ini masih berjalan. Nelayan dan kelompok masyarakat yang terdampak berharap ada kepastian hukum agar pemulihan lingkungan dapat segera dilakukan.

Ketua Pusaka Kaltim M. Taufik menjelaskan bahwa pihaknya terus memantau perkembangan penanganan kasus yang diduga melibatkan aktivitas PT Pertamina Hulu Sanga-Sanga (PHSS). 

Ia menyebut, lambatnya perkembangan penyelidikan menimbulkan kekhawatiran di kalangan masyarakat pesisir.

“Undang-undang sudah tegas. Dalam Pasal 88 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang diperkuat UU Cipta Kerja, diberlakukan prinsip strict liability. Artinya, tanggung jawab perusahaan bersifat mutlak — tidak perlu dibuktikan unsur kesalahannya,” ujar Taufik, Rabu (8/10).

Menurutnya, prinsip tersebut menjadi dasar penting agar setiap aktivitas industri yang berpotensi berdampak pada lingkungan dapat ditangani secara transparan dan akuntabel.

Berdasarkan informasi yang diterima Pusaka Kaltim, ada dua hal yang saat ini menjadi perhatian. Pertama, hasil uji laboratorium dari Gakkum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang hingga kini belum diumumkan.

Sebelumnya, hasil pengujian dari beberapa laboratorium independen seperti Universitas Mulawarman (Unmul) dan Institut Teknologi Bandung (ITB) telah lebih dulu menunjukkan indikasi adanya pencemaran di wilayah pesisir. Hasil dari Gakkum KLHK diharapkan dapat menjadi dasar utama dalam pembuktian hukum.

“Keheningan Gakkum KLHK menciptakan spekulasi dan menahan langkah hukum berikutnya. Ini menjadi tanda tanya besar bagi masyarakat yang sudah menunggu lama,” ungkap Taufik.

Kedua, terkait alur penanganan perkara di kepolisian. Berdasarkan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan (SP2HP) dari Ditreskrimsus Polda Kaltim tertanggal 27 Agustus 2025, perkara tersebut kini akan digelar bersama Polres Bontang karena adanya laporan serupa yang ditangani sejak Desember 2024.

Langkah koordinasi ini diharapkan dapat memperjelas proses hukum agar tidak terjadi tumpang tindih dalam penanganan. Namun, Taufik berharap koordinasi antarlembaga tetap mengutamakan percepatan penyidikan.

“Sudah berbulan-bulan ditunggu, sekarang prosesnya seolah kembali ke titik nol. Jangan sampai koordinasi ini dijadikan alasan untuk menunda-nunda keadilan,” tegasnya.

Bagi masyarakat pesisir, penyelesaian kasus ini bukan hanya soal penegakan hukum, tetapi juga pemulihan ekosistem yang menjadi sumber mata pencaharian mereka.

“Mereka terperangkap di antara dua institusi negara yang seharusnya melindungi hak mereka, namun justru menjadi sumber ketidakpastian,” kata Taufik.

Hingga berita ini diturunkan, belum ada keterangan resmi dari pihak PT Pertamina Hulu Sanga-Sanga (PHSS) terkait perkembangan proses hukum maupun hasil pemeriksaan lingkungan tersebut. (*)