Manajemen K3 di Era Perubahan Iklim: Melindungi Pekerja dari Risiko Bencana

redaksi
6 Okt 2025
Share

Opini Oleh: Ferdhitya Rizky Syauqi, Mahasiswa S2 Universitas Mulawarman

Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) selama ini kerap dipahami sebatas penggunaan alat pelindung diri (APD) seperti helm, sarung tangan, dan rompi. Padahal, realitas di lapangan jauh lebih kompleks. Indonesia kini menghadapi ancaman besar yang tidak bisa diabaikan: perubahan iklim.

Banjir, longsor, kebakaran hutan, suhu ekstrem, hingga kabut asap semakin sering terjadi dan berdampak langsung pada kesehatan serta keselamatan pekerja. Jika K3 tidak segera bertransformasi menghadapi tantangan ini, maka nyawa pekerja akan terus berada di ujung tanduk.

Perubahan iklim bukan lagi isu lingkungan semata, melainkan persoalan keselamatan kerja yang mendesak.

Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, sepanjang 2024 terjadi lebih dari 3.000 kejadian bencana hidrometeorologi—sebagian besar berupa banjir, tanah longsor, dan kebakaran hutan. Dampaknya tidak hanya dirasakan masyarakat umum, tetapi juga jutaan pekerja di berbagai sektor.

• Pekerja perkebunan dan kehutanan terpapar asap kebakaran hutan yang memicu penyakit pernapasan.

• Petugas kesehatan menghadapi lonjakan pasien ISPA dan kelelahan akibat jam kerja panjang di tengah darurat kabut asap.

• Pekerja konstruksi tetap bekerja di bawah suhu ekstrem, meningkatkan risiko heat stroke.

• Nelayan dan pekerja maritim berhadapan dengan badai serta gelombang tinggi yang kian sulit diprediksi.

Sayangnya, regulasi K3 di Indonesia masih berfokus pada risiko “konvensional” seperti jatuh dari ketinggian, tertimpa benda berat, atau paparan bahan kimia. Padahal, ancaman perubahan iklim menambah lapisan risiko baru yang tidak kalah mematikan.

Mengapa K3 Harus Berevolusi

Ada tiga alasan utama mengapa manajemen K3 perlu beradaptasi dengan krisis iklim:

1. Frekuensi Bencana Meningkat

Cuaca ekstrem kini terjadi sepanjang tahun. Bencana yang dulunya musiman, kini menjadi ancaman permanen.

2. Lingkup Pekerja Semakin Luas

K3 tidak lagi terbatas pada industri berat. Sektor pendidikan, kesehatan, bahkan UMKM kini turut terdampak perubahan iklim.

3. Dampak Kesehatan yang Lebih Kompleks

Selain risiko fisik, perubahan iklim memicu stres, kecemasan, dan kelelahan mental akibat bekerja di lingkungan yang tidak aman.

Manajemen K3 Adaptif di Era Iklim

K3 harus diartikan ulang—bukan sekadar kepatuhan administratif, tetapi strategi adaptif menghadapi krisis iklim. Ada lima langkah kunci yang perlu dilakukan:

1. Penilaian Risiko Lingkungan

Audit K3 perusahaan harus mencakup risiko bencana seperti banjir, suhu ekstrem, kabut asap, hingga kebakaran. Hasilnya menjadi dasar kebijakan manajemen.

2. Sistem Peringatan Dini untuk Pekerja

Teknologi seperti aplikasi cuaca, sensor kualitas udara, atau sistem SMS darurat bisa memberi peringatan dini agar pekerja dapat mengatur aktivitas secara aman.

3. Pelatihan Evakuasi dan Tanggap Bencana

Pelatihan tanggap darurat tidak hanya untuk sektor tambang atau migas. Guru, perawat, hingga buruh pabrik juga perlu dilatih evakuasi banjir, gempa, atau kebakaran.

4. APD Khusus untuk Kondisi Ekstrem

Masker N95 saat kabut asap, rompi pelampung di daerah banjir, atau cooling vest di lokasi bersuhu tinggi harus menjadi bagian standar K3 baru.

5. Kebijakan Kerja Fleksibel

Perusahaan perlu menyesuaikan sistem kerja, misalnya bekerja dari rumah saat kualitas udara memburuk atau cuti darurat saat banjir besar. Perlindungan pekerja harus menjadi prioritas utama.

Bukti Nyata di Lapangan

Beberapa contoh menunjukkan bahwa K3 adaptif dapat menyelamatkan banyak nyawa:

• Di Kalimantan Tengah, perusahaan perkebunan yang membekali pekerja dengan masker N95 dan tempat istirahat ber-AC saat kabut asap berhasil menurunkan kasus ISPA hingga 40%.

• Di Jakarta, sejumlah perusahaan konstruksi mengubah jam kerja dari siang ke malam untuk menghindari gelombang panas ekstrem.

• Di Aceh, puskesmas di wilayah rawan banjir menyiapkan jalur evakuasi dan perahu karet agar layanan kesehatan tetap berjalan.

Semua ini membuktikan bahwa K3 adaptif bukan hal mustahil, hanya perlu komitmen dan keseriusan.

Kendala di Lapangan

Meski penting, penerapan K3 adaptif masih menghadapi sejumlah hambatan:

• Biaya tambahan untuk APD khusus dan sistem peringatan dini.

• Rendahnya kesadaran manajemen perusahaan, yang masih menganggap K3 sebagai beban administratif.

• Minimnya regulasi nasional yang secara eksplisit memasukkan faktor iklim ke dalam standar K3.

Tanpa dukungan kebijakan, banyak perusahaan kecil dan menengah akan kesulitan mengadopsi sistem ini.

Penutup: Menjaga Nyawa di Tengah Krisis Global

Perubahan iklim telah mengubah wajah dunia kerja di Indonesia. Dari perkebunan hingga rumah sakit, dari kantor hingga tambang, semua sektor kini berada di bawah bayang-bayang bencana.

Jika manajemen K3 tidak segera diperluas untuk mengantisipasi dampak iklim, korban jiwa akan terus berjatuhan. Kita tidak bisa lagi menunggu tragedi baru untuk sadar.

K3 adaptif harus menjadi standar nasional. Karena sejatinya, keselamatan pekerja bukan hanya soal melindungi nyawa di tempat kerja, tetapi menjaga keberlangsungan hidup mereka di tengah krisis global. (*)