Borneopost.co, Jakarta – Anggota Komisi XI DPR, Puteri Anetta Komarudin, menilai bahwa meskipun Rupiah melemah akibat tekanan global, kinerjanya tetap lebih baik dibandingkan beberapa mata uang lain, seperti Yen Jepang dan Dollar New Zealand, yang masing-masing terdepresiasi hingga 8,91 persen dan 6,12 persen secara year-to-date (ytd).
“Stabilitas Rupiah tidak terlepas dari fundamental ekonomi Indonesia yang kuat, seperti surplus neraca dagang, cadangan devisa yang tinggi, dan inflasi yang terkendali. Kami terus mendesak pemerintah dan Bank Indonesia untuk memantau pergerakan nilai tukar dan melakukan intervensi demi menjaga stabilitas Rupiah,” ujar Puteri dalam keterangannya di Jakarta, Kamis.
Puteri menjelaskan bahwa konflik geopolitik global memicu kepanikan di pasar keuangan, mendorong investor global untuk mengalihkan dana ke aset yang dianggap lebih aman, seperti dolar AS dan emas. Penguatan indeks dolar, yang mencapai 106,25 pada 16 April 2024, memengaruhi nilai tukar di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Bank Indonesia mencatat bahwa Rupiah melemah hingga 5,07 persen (ytd) pada 23 April 2024. Meski begitu, pelemahan Rupiah masih lebih terkendali dibandingkan Baht Thailand dan Won Korea, yang masing-masing terdepresiasi 7,88 persen dan 6,55 persen.
Puteri menyoroti bahwa depresiasi Rupiah dapat meningkatkan tekanan pada belanja APBN, khususnya subsidi energi, karena sebagian besar kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) masih diimpor. “Sekitar 60 persen kebutuhan BBM kita masih bergantung pada impor, sehingga sangat rentan terhadap fluktuasi nilai tukar,” jelasnya.
Selain itu, pelemahan Rupiah juga berdampak pada beban pembayaran utang luar negeri, terutama surat utang berbasis dolar AS. Namun, Puteri menekankan bahwa penguatan dolar AS juga memberikan keuntungan, seperti peningkatan penerimaan negara dari perdagangan internasional, termasuk PPh Pasal 22 impor, PPN, bea masuk, dan bea keluar. Nilai tukar Rupiah juga memengaruhi penerimaan dari sektor migas dan PNBP SDA migas.
Untuk mengatasi tekanan ini, Puteri mendorong pemerintah dan Bank Indonesia untuk terus merumuskan langkah antisipasi yang efektif. Ia mendukung upaya BI dalam menjaga stabilitas Rupiah melalui berbagai operasi moneter, seperti intervensi di pasar valas, pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder, serta pengelolaan likuiditas yang tepat.
Puteri juga menyoroti pentingnya optimalisasi penggunaan instrumen moneter pro-market, seperti SRBI, SVBI, dan SUVBI, guna menarik aliran dana asing untuk mendukung stabilisasi nilai tukar. Selain itu, ia mengapresiasi implementasi transaksi mata uang lokal atau Local Currency Transaction (LCT), yang hingga Maret 2024 telah mencapai 1,37 miliar dolar AS dengan melibatkan lebih dari 3.500 pelaku.
“Penerapan LCT dapat mengurangi ketergantungan pada dolar AS, mempermudah transaksi ekspor-impor, dan meningkatkan investasi. Sinergi antara BI dan pemerintah juga perlu diperkuat dalam memaksimalkan penempatan Devisa Hasil Ekspor Sumber Daya Alam (DHE SDA) agar cadangan devisa domestik semakin bertambah,” tambah Puteri.
Ia menegaskan bahwa langkah-langkah strategis ini dapat memperkuat Rupiah dalam menghadapi tekanan global yang semakin kompleks. “Kami mendukung penuh upaya pemerintah untuk terus mensosialisasikan dan memastikan kebijakan DHE SDA berjalan dengan optimal demi ketahanan ekonomi nasional,” pungkasnya.